RENUNGAN DIMUQRATIA DAN JUMHURIYAH KITA

Halo kawan

Bermula dari cuitan @zenrs terbesit di otakku untuk merangkai beberapa sengketa atau "convert partai" selama hampir 1 dasawarsa ini. Terus-terang saja aku tidak tahu apakah yang seperti ini juga pernah terjadi di negara lain? atau hanya negeri  kita tercinta saja yang begini rezimnya? Aku belum sempat untuk mencari tahu tentang itu, tapi yang pasti ini akan menjadi sesuatu yang berulang-ulang hingga ada seseorang atau sekelompok yang jengah dengan "sistem permainan" ini. 

Baiklah baiqlah bike lah saya sebut satu persatu gonjang-ganjing tersebut

1. Pertarungan antara kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono
2. Perpecahan antara kubu Djan Fariz dan Romahurmuzy
3. Percobaan yang gagal oleh Moeldoko untuk menggapai Demokrat
4. "Gangguan terhadap Nasdem"
5. Manuver Muhaimin Iskandar dan perselisihan dengan PBNU
6. Munaslub Golkar

Dari perseteruan atas "pengambil-alihan partai" ini dan drama saling sandra menyandra, mungkin kita bisa menarik benang merah kepada sebuah titik yang disebut kualitas demokrasi Indonesia yang tercermin pada tergerusnya entitas politik yang dengan "tulus ikhlas" bersedia mengambil peran sebagai  oposisi. Ini cukup menjadi pengingat bahwa kebanyakan partai tersandera oleh buhul-buhul dan ikatan yang mereka buat sendiri. Penyimpangan dan ambisi tersebut secara "kebetulan" dimanfaatkan oleh yang duduk di kursi tahta yang dengan tekun memunguti dan menggenggam kartu-kartu rahasia demi keuntungannya sendiri dan kaumnya. Ditambah dengan sistem pendanaan politik yang membuat parpol melihat bahwa berada di luar pemerintahan terkesan tidak menguntungkan. Kalau memang hanya rakyat yang 

Jujur aku agak iri pada proses demokratisasi di Korea dan Taiwan yang tidak memberi celah pada proses kemunduran. Setahuku nih tidak ada di  대한민국 yang tiada angin-tiada hujan, terpikir salah satu kelompok yang ingin perpanjangan periode jabatan presiden. Begitu pula di Taiwan (Repulic of China)  yang di dalam konstitusinya menyebutkan kalau presiden maksimal menjabat 2 periode. Sebagus apapun presidennya, tidak akan sekalipun wacana konyol seperti itu beredar ke khalayak. Bahkan wacana untuk kembali ke konstitusi lama sebelum diamandemen tidak pernah diutarakan hanya demi melanggengkan kekuasan berkedok menjaga keberlanjutan pembangunan. 
Entah kenapa kalau memang tidak ingin batasan masa jabatan, kenapa dulu saat reformasi tidak sekalian jadi parlementer? 

Perlu diketahui bahwa sebelum sampai pada titik kini, Korsel dan Taiwan telah mengorbankan banyak tumbal demi menempuh jalan menanjak demokratisasi. Pelanggaran HAM yang mengaputasi dan memasung suara-suara perlawanan merupakan hal yang sering terjadi pada masa kelam tersebut. Gerakan Mahasiswa Bakung Liar dan Gwangju Uprisin  menjadi gempuran paripurna dalam merontokkan tembok-tembok kekuasaan. Kedua negara tersebut tetap "setia" mengawal proses demokrasi walau sudah berhasil merombak dan melucuti penindasan lama, sehingga pencapaian yang susah payah didapat tidak pernah kembali ke titik semula. 

Komentar